Setitik Hitam Tak Merusak Luapan Kebaikan

Oleh Achmad Siddik Thoha

Pagi itu, Andi sangat terkejut dengan berita yang dibawa temannya, Karim. Karim menyebutkan bahwa guru mengaji mereka, Pak Amir, ditangkap polisi. Konon Pak Amir  dalam keadaan emosi memukul Jaja, teman ngaji Andi yang terkenal selalu memancing keributan. Pak Amir pun sebenarnya sudah meminta maaf pada keluarga Jaja. Sayangnya keluarga Jaja tak terima perlakuan Pak Amir dan membawa urusan tersebut ke polisi.

Andi sungguh tak menyangka, Pak Amir bisa marah dan memukul orang. Dia mengenal Pak Amir sebagai sosok yang sabar dan penyantun pada murid-muridnya. Bahkan, jangankan memukul, Pak Amir tak pernah terlihat emosi meskipun anak-anak pengajian sangat berisik dan menganggunya.
Sejak itu, masyarakat kampung seolah menjatuhkan vonis yang tidak adil pada Pak Amir dan keluarganya. Mereka menuduh Pak Amir sebagai orang yang suka menganiaya anak-anak. Bahkan dicari-cari kesalahan yang lain untuk membunuh karakter seorang yang sejak lama telah berjasa membina generasi muda di kampungnya.

Keluarga Pak Amir sangat terpukul. Rasanya orang tak lagi menghargai jasa-jasa Pak Amir yang telah lama ditanam. Kesalahan sedikit yang diakui Pak Amir dilakukan secara tidak sengaja, seolah telah menghabiskan banyak kebaikan yang selama ini beliau luapkan di masyarakat.

Andi termenung di depan jendela. Anak usia empat belas tahun ini, memandang dari kejauhan rumah Pak Amir yang selalu terang terasnya. Sejak Pak Amir berurusan dengan Polisi, Langgar (tempat shalat dan mengaji) di kampungnya menjadi sepi. Anak-anak kemudian larut dalam aktivitas yang tidak bermanfaat mengisi waktu usai maghrib. Banyak anak muda kemudian nongkrong di gang, bermain game online, bermain internet atau hanya sekedar ngobrol ‘ngalor-ngidul’ di beranda langgar. Tak ada lagi suara merdu Pak Amir menuntun anak-anak memperdalam kita suci. Tak terdengar lagi suara serempak menghapal pelajaran agama.

“Nak, kau tidak mengaji?” Telapak tangan lembut menyentuh pundak Andi. Tangan Ayahnya telah menyadarkan lamunannya.
“Ayah, haruskah kita membenci Pak Amir juga, seperti warga kampung?” Andi melontarkan pertanyaan tajam pada Ayahnya.
Ayah Andi menggeleng pelan.  Ayah Andi  menunjuk sesuatu di atas meja makan
“Coba kau lihat gelas  itu, Nak. Gelas itu berisi susu. Seandainya kau masukkan secuil bubuk kopi, apa yang akan kamu lihat?”
“Sepertinya gelas itu akan tetap berwarna putih,. Ayah.” Andi menjawab dengan mantap.
“Nah, disamping segelas susu itu ada segelas kopi hitam. Seandainya Ayah masukkan sesendok susu putih cair, apakah warna hitam akan segera berubah putih?” pancing Ayah Andi.
“Tentu saja tidak, Ayah. Butuh sangat banyak susu putih cair untuk merubah kopi jadi berwarna putih. Juga butuh banyak bubuk kopi untuk merubah susu berwarna hitam.”
“Pintar kamu, Nak.” Ayah Andi tersenyum sambil mengacungkan jempol.
“Anakku, secuil kesalahan takkan bisa menghapus dan merubah kebaikan yang melimpah. Sama halnya dengan secuil bubuk kopi takkan akan merubah warna putih segelas susu. Sikap kita terhadap orang yang melimpah kebaikannya seharusnya demikian. Orang yang telah berbuat baik dalam kurun waktu yang lama dan kebaikannya telah menyebar luas, takkan bisa lenyap begitu saja hanya karena sedikit kesalahan. Kesalahan yang sedikit takkan bisa melupakan kebaikannya yang banyak. Sebagai manusia sangat wajar bila melakukan kesalahan dan karenanya, Tuhan memerintahkan kita untuk memaafkan.”
“Demikian sebaliknya, orang yang telah banyak berbuat dosa dan kesalahan, butuh usaha yang besar untuk bertobat sehingga pekatnya dosa bisa tertutup oleh perbuatan baik yang juga besar kadarnya. Karenanya, Tuhan memberi pintu tobat bagi hamba-Nya yang berbuat dosa dengan syarat dia meminta ampun pada-Nya, meminta maaf pada yang disakiti, tidak mengulangi kesalahannya dan berbuat sebanyak mungkin kebaikan. Tak cukup berbuat baik sekedarnya bagi orang yang terlanjur dosanya telah menghitamkan jiwanya.”
Andi mengangguk pelan. Lalu dia berkata pada Ayahnya.
“Ayah, aku akan tetap menghormati Pak Amir sama seperti dahulu aku menghormati dan memuliakan beliau. Tak ada alasan aku membencinya, apalagi beliau sudah meminta maaf.”
“Oke…kalau begitu, kita tengok Pak Amir besok di Kantor Polisi, ya.”
“Siap, Ayah!”

Ayah dan anak itu kemudian menuju ruang ibadah. Tak lama kemudian mereka telah larut dalam lantuan Ayat-ayat suci .

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar