Pak Cahyo dan Monumen Hidup di Kampus IPB

Oleh Achmad Siddik Thoha

Lelaki dengan kacamata tebal itu menarik perhatian kami. Ya, kami para mahasiswa Fakultas Kehutanan IPB khususnya angkatan 29 dan 30 (Tahun 1992 dan 1993). Tidak hanya kaca matanya yang tebal, ia nampak nyentrik dengan topi hitam dan sepatu boat karet , serta payung besar yang selalu setia bersamanya.  Mahasiswa memanggil lelaki yang juga dosen kami dengan panggilan Pak Cahyo.  Pak Cahyo, sebuah kenangan sosok sederhana penuh dedikasi pada lingkungan.

Ingatan saya tidak mudah hilang ketika tahun 1995 – 1996 kami diajar oleh beliau.  Pelajaran Silvika, mata kuliah wajib tentang pepohonan, yang menjadi ciri khas mata kuliah fakultas kehutanan di seluruh Indonesia. Kuliah 3 SKS ini nampaknya berjalan biasa saja.  Sampai saya dan kawan-kawan merasakan ada yang lebih dari kuliah ini.  Kenapa setiap praktikum kami disuruh menamam, menanam dan menanam.  Bahkan pada kuliah lain yang berhubungan dengan pohon, Pak Cahyo pun mengerahkan kami untuk menanam.  Setiap tanah kosong yang ada di kampus menjadi incaran kami.

Saya tidak mudah lupa ketika saat panas terik kami diminta menanam bibit Gmelina (Gmelina arborea) di bukit-bukit kosong  di kawasan kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) Darmaga Bogor.  Bukan bukit dan teriknya panas matahari yang buat kami malas, namun karena kami melakukan penanaman saat semua mahasiswa libur.  Meski agak ”gondok”, kami menikmati kegiatan itu.

Bukan tanpa sebab Pak Cahyo mendidik kami menjadi penanam.  Ini berasal dari kebiasaan beliau yang mengelilingi kampus sambil menanam.  Beliau tak hanya menyuruh tanpa ilmu dan teladan.  Siapa yang tak pecaya dengan ajakan seorang Bergelar Master of Science Alumni Jerman dan Doktor dari IPB yang setiap harinya berkeliling kampus membawa benih dan bibit untuk ditanam..  Terkadang saya melihat beliau sendirian membawa bibit dan cangkul kemudian ditanamnya di lokasi yang menurutnya layak. Saya sempat mendengar sindiran dari kawan-kawan dan dosen lain tentang ”ulahnya” yang tidak seperti biasanya.  Saya pernah mendengar sesorang menamakan kegiatannya ”illegal planting” (penanaman tak legal).  Sebuah istilah bernada tidak mendukung.

Sekitar enam belas tahun berlalu. Kini hasil kegiatan penanaman kami sudah bisa dinikmati adik-adik kelas kami. Ruang kelas DAR (istilah ruangan kelas besar Fakultas Kehutanan IPB Darmaga) sekarang laksana bangunan di tengah hutan. Demikian juga halaman depan kelas DAR, menjadi teduh dan penuh kicuanan burung.  Bibit-bibit Gmelina kurus yang kami tanam dulu, kini menjelma menjadi menjadi pohon besar berdiameter batang 30 cm lebih dan tinggi lebih dari 15 m. Gmelina kesayangan Pak Cahyo dan kami ini, juga menanungi kampus-kampus di luar Fakultas Kehutanan. Kini, saya dan kawan-kawan kuliah seangkatan mempunyai kebanggaan tersendiri karena jerih payah kami, pohon Gmelina kini menjadi monumen hidup yang bermanfaat.

Pak Cahyo, yang kini telah bergelar Doktor, dengan sikapnya yang cuek, nyentrik dan tidak peduli omongan orang, benar-benar telah membuktikan sebuah karya besar bagi kami.  Meski ia bukan seorang ahli yang ternama, bukan profesor, bukan dosen bertabur penghargaan dan proyek, ia adalah dosen teladan bagi saya. Beliau bekerja dan terus bekerja meski sering mendapat sindiran dan cibiran. Sebuah inspirasi hidup yang keluar sosok tanpa banyak kata dan sederhana.

Beliau juga mendidik mahasiswanya untuk tidak terlalu memikirkan legalitas, formalitas dan rasa pantas atau tidak.  Apapun kita, kalau mau berbuat baik, tanggalkan semua simbol, baik pekerjaan, asal-usul, gelar akademik, jabatan publik, ketokohan dan status lainnya.  Pak Cahyo berbuat sesuatu tidak menunggu Surat Tugas, Surat Keputusan dan Anggaran Kegiatan. Begitu dia memegang cangkul dan bibit, saat itulah pekerjaan harus dituntaskan. Bagi Pak Cahyo, menamam pohon sama seperti melakukan amal-amal baik lain. Bahkan menanam pohon adalah amal yang penuh rasa berserah diri pada-Nya.  Hanya Tuhan yang bisa menjamin pohon ini terus tumbuh meski kita sudah merawatntya. Namun rasa berserah diri itu tetap ddasarkan pada usaha yang maksimal.

Pak Cahyo saya pikir juga memahami dan mengamalkan sebuah ungkapan yang pernah saya dengar dari sebuah pengajian di Pesantren:
” Jika bukan karena harapan, niscaya takkan ada orang yang mau menanam pohon dan takkan ada ibu yang mau menyusui anaknya”.
Tentu Pak Cahyo tak pernah lupa bahwa ini bukan jasa dia semata.  Saat bertemu saya, dia menyatakan bahwa pohon Gmelina itu hasil tanaman dari praktikum saya dan kawan-kawan seangkatan. Sebuah ungkapan rendah hati dari seorang penanam tanpa kenal lelah yang sangat menginspirasi.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar