Gendongan Terakhir

Oleh Achmad Siddik Thoha

Anak perempuan itu hari-harinya kini murung. Caca namanya. Di usianya ke lima tahun, dia tidak seceria teman-temannya.  Dilihatnya, semua teman-temannya bermain bersama orang tuanya tiap pagi. Mereka digendong dengan mesranya oleh ayah mereka. Tertawa, berlari dan bercanda riang. Sementara dirinya, bertemu Ayahnya saja sangat sulit. Ayahnya pekerja yang sibuk. Hari-harinya dijejali dengan aktifitas untuk mengejar target pekerjaan. Bahkan di hari libur kerja, ayahnya memilih membawa setumpuk pekerjaan kantornya ke dalam rumah.
Pernah Caca mendatangi Ayahnya yang sedang mengetik di kamar yang dijadikan tempat kerja.

“Ayah….aku mau main sama Ayah. Pengen digendong belakang.”
“Sebentar ya Caca, Ayah selesaikan dulu. Caca kan bisa main game atau nonton TV. Ayah selesaikan dulu, ya.”
“Ayah…sebentar saja, tidak lama, cuma digendong.” 
“Caca, Ayah sibuk. Kalau ini tidak selesai, Ayah tidak akan dapat uang tambahan. Ayah kan bisa belikan hadiah lagi buat Caca.  Sudah, sana ke Mama.”

Caca berpaling. Wajahnya begitu sedih. Sejak itu Caca tidak berani lagi meminta untuk digendong ayahnya.
Pagi sekali, Ayah Caca berangkat kerja. Mobilnya melesat cepat membelah kabut pagi di jalanan yang masih sepi. Baru lima belas menit mobil melaju, Ayah Caca melihat kerumunan orang di depan.  Karena macet, dia mencoba turun mencari tahu peristiwa yang terjadi.

Ternyata ada perempuan sebesar Caca yang bersimbah darah terlentang di tengah jalan. Seorang gadis kecil ditabrak mobil. Kesalnya, mobil penabrak itu lolos dari kejaran masyarakat sekitar tempat kejadian.

Tanpa pikir panjang, Ayah Caca menggendong gadis itu ke mobilnya. Ia segera melarikan gadis yang sudah sekarat itu ke rumah sakit. Tiba di ruang ICU, dokter dan petugas medis segera menanganinya.
“Pak, mohon maaf, ini anak Bapak? Dia tidak bisa dielamatkan, Pak.”

Sedih, bingung dan panik. Dengan batuan masyarakat yang ikut dengannya, Ayah Caca mengantar gadis yang sudah meninggal itu ke rumahnya.

Rumah gadis malang itu sudah nampak di depan matanya.  Ayah Caca kemudian menggendong gadis yang dibungkus kain putih. Dilihatnya wajah gadis mungil yang cantik. Wajahnya secantik Caca. Tiba-tiba seperti ada suara gaung seperti suara Caca. Wajah Gadis itu pun berubah seolah wajah Caca yang mengucapkan sebuah kalimat pendek
“Ayah, gendong, sebentar saja.”
Tiba-tiba Ayah Caca merasakan sosok dalam gendongannya itu anaknya.

“Caca….jangan tinggalkan Ayah, nak.” Tangis Ayah Caca pecah.  Sementara masyarakat dan orang tua gadis yang sudah meninggal itu terheran-heran.

“Pak, kenapa menangis? Bapak begitu sedih meilhat anak saya meninggal, ya? Terima kasih atas segala bantuan, Bapak.”
Ayah Caca baru tersadar. Ternyata bukan anaknya sendiri yang dgendongnya. Iya sangat bersyukur. Caca masih ada. Tuhan masih memberinya waktu untuk menggendongnya. Menggendong saat hidup bukan ketika sudah tak bernyawa

“Syukurlah, ini bukan Caca. Ya, Tuhan, maafkan aku…!”
Segera ia berpamitan pada keluarga gadis malang itu. Dia langsung melesat ke rumahnya. Pikirannya hanya satu,  “Aku akan menggendong Caca.”
****

Sahabat, banyak peristiwa kecil yang bisa membawa kita pada penyesalan mendalam karena mengabaikannya. Dalam hidup yang penuh dengan ketergesa-gesaan ini, kata “sebentar” sepertinya sangat langka. Seolah-olah semua hal harus selesai dengan segera, sedangkan momen ”sebentar” hilang tertelan perlombaan mengejar materi.  Sementara, sesuatu yang ”sebentar” itu akan bisa mengguncang keras hidup kita karena mengacuhkannya. Seringakali kata ”sebentar” itu akan kita sesali karena takkan pernah didengar lagi di dunia. 

Sebenar saja, berakrab ria dengan keluarga, mencium anak melepasnya sekolah, mampir membelikan oleh-oleh buat orang tua, menjawab surat atau pesan dari saudara, merenungi ayat-ayat Tuhan, berolah raga di akhir pekan, duduk sekejap setelah beribadah, menyapa tetangga dan bahkan menggendong seorang ”Caca” dalam kehidupan kita. Momen yang ”sebentar” itulah justru yang membuat kedamaian, penumbuh cinta dan pendorong semangat hidup kita.

Sahabat, kenapa kita tidak memilih jalan memutar untuk menghilangkan kejenuhan.  Mengapa kita harus melalui hidup dengan jalan yang itu-itu saja. Saat kita mengambil jalan memutar, udara yang lebih segar akan kita hirup, pemandangan lebih indah bisa kita nikmati serta kepiluan dan kesedihan bisa kita lepaskan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar